Mengapa Gelombang Tsunami Tinggi?
Tsunami umumnya terdiri atas banyak gelombang yang datang bergantian. Pada beberapa kasus, gelombang pertama bukan gelombang tertinggi dan menimbulkan kerusakan terbesar. Gelombang terbesar terjadi justru setelah gelombang pertama surut.
Peneliti tsunami memiliki persamaan standar dalam memodelkan gelombang besar. Namun simulasi tersebut selalu menghasilkan kenaikan gelombang lebih rendah daripada kejadian sebenarnya.
Peneliti tsunami dari University College Dublin, Frederic Dias, mencontohkan tsunami Pangandaran pada 17 Juli 2006. Ketika itu, gempa sebesar 6,8 Skala Richter menghasilkan gelombang tsunami setinggi 6 meter di pantai Pangandaran, lebih besar dari hasil pemodelan.
Awalnya peneliti menduga ketinggian gelombang ini diperkuat oleh longsor bawah laut. Namun hal ini juga belum cukup menjelaskan keseluruhan peristiwa itu. "Peneliti tsunami dipusingkan oleh masalah ketinggian gelombang karena hanya memikirkan tsunami sebagai gelombang yang menaiki pantai lalu surut," kata Dias.
Dias menduga tsunami bisa menjadi lebih tinggi ketika terjadi interaksi gelombang pertama dengan gelombang yang menyusul kemudian. Setelah mencapai daratan, gelombang akan surut lebih rendah dari permukaan air laut, sehingga menyimpan energi untuk kembali ke daratan.
Energi ini memberikan dorongan pada gelombang kedua yang sedang menghampiri pantai. Gabungan dari dua gelombang ini membuat gelombang kedua yang mengempas daratan lebih tinggi dari gelombang pertama.
Untuk menguji ide ini, Dias membuat simulasi laboratorium dengan menggunakan minatur pantai yang benar-benar halus. Hasilnya, resonansi bisa memperkuat ketinggian gelombang hingga 60 kali lebih besar dari perhitungan di atas kertas.
Simulasi laboratorium dengan menggunakan miniatur pantai berikut lembah dan gunung dasar laut. Miniatur ini memperlihatkan kejadian tsunami Mentawai pada 25 Oktober 2010. Hasil simulasi menunjukkan resonansi bisa menghasilkan gelombang yang lebih tinggi. "Resonansi terbukti masih terjadi." (Koran Tempo, 20 September 2011/ humasristek)
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.