Robot Hijau Ramah Lingkungan
Robot dan teknologi bukan perusak lingkungan. Robot juga bisa membantu manusia menyelamatkan lingkungan. Itulah tema lomba robot hijau dalam Kontes Robot Maranatha (Kroma) di Bandung, 16-17 September lalu.
Dalam kontes yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Elektro Universitas Kristen Maranatha, Bandung, itu, robot harus menjalankan misi memilah sampah organik dan membawanya ke tempat pembuangan untuk diolah kembali.
Robot seukuran mobil remote control itu harus berjalan di arena bergaris hitam kotak dan melengkung. Mereka harus bisa keluar dari garis untuk menghindari halangan dan kembali ke garis berikutnya. Sayang, banyak yang gagal melakukan tugas itu.
Bila dibandingkan dengan kontes robot tingkat nasional, misi yang dilakukan tergolong sederhana. Sebab, kontes ini tidak melombakan pembuatan robot dari nol. Para pesertanya pun pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah ke atas dan kejuruan.
Dalam kontes robot ini, mereka ditantang untuk merakit "otak" robot yang ditanam dalam prosesor. Sedangkan robot yang digunakan tak dibatasi asal-usulnya. Robot tersebut boleh didatangkan dari negara mana pun.
Meski berusia belia, tiap peserta harus dapat memperbaiki sendiri program yang menjalankan robot mereka. Setelah gagal pada putaran awal, tiap tim dibolehkan mengutak-atik program menggunakan laptop.
Dalam kontes hari pertama, yang dilangsungkan bagi kategori senior, lomba diikuti delapan tim pelajar SMA dan SMK. Peserta dari Bandung, Solo, juga Tangerang menjajal kelihaian robot mereka keluar dari ruang labirin berukuran 1,2 x 2 meter.
Dalam kontes itu, robot diberi misi memilah sampah organik yang ditandai dengan warna hijau dan non-organik bertanda merah. Tiap robot harus bisa membedakan benda berwarna hijau dan merah.
"Sampah organik itu harus diangkut ke tempat sampah untuk diolah. Jalan menuju tempat sampah itu menanjak," kata Muliady, ketua panitia kontes robot.
Gelar juara di kategori senior diraih oleh Brian Billy dari SMA Kristen BPK Penabur, Bandung. Peringkat kedua diraih rekannya, Alson Cahyadi. Sedangkan posisi ketiga untuk robot buatan Ray Paulus dan Pranandika Jaya dari SMA Kristen Trimulia, Solo.
Penghargaan khusus diberikan kepada Samuel dan Ricky dari SMAK Trimulia. Sedangkan proposal terbaik diraih oleh Kristanto dan Nathanael, pelajar SMAK 1 Surakarta.
Tiap pemenang mendapatkan hadiah uang tunai Rp 3-5 juta dan piala. Selain itu, mereka mendapatkan keringanan uang kuliah bila melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknik Elektro Universitas Kristen Maranatha.
Tantangan dalam kontes kategori junior, yang diikuti 15 tim, lebih sederhana. Dalam lomba yang diikuti pelajar tingkat SMP dan SD ini ,robot hanya perlu berjalan menyusuri garis berbentuk kotak dan melengkung.
Misinya sama, yakni robot harus mengambil silinder pipa hijau dengan lengan atau capit. Sebagai rintangan, panitia meletakkan benda serupa berwarna merah di tengah arena.
Benda itu harus dibawa ke ujung garis dengan penghalang sebuah botol di atas garis hitam. "Robot harus menghindari botol itu, lalu kembali ke garis," ujar Muliady.
Dua tim dari SMP Kristen 1 BPK Penabur, Bandung, dengan anggota Marvin dan Misael serta Stanley dan Nathaneil, menyabet gelar juara pertama dan kedua. Sedangkan peringkat ketiga diberikan kepada Fairuuz Xaveria dari SMP Temasek.
Penghargaan khusus diraih Jocelyn dari SMPK 1 BPK Penabur, Bandung, dan penghargaan untuk proposal terbaik diberikan kepada Hubertus Hans dari SD Tiara Bunda, Bandung. Mereka memperoleh hadiah yang sama dengan hadiah kategori senior.
Tema kontes robot hijau sengaja diangkat untuk memperluas aplikasi robot dalam kehidupan sehari-hari. Juga untuk menghapus kesan robot dan teknologi sebagai perusak lingkungan di kalangan anak-anak.
Kontes robot tahunan ini juga bertujuan memancing minat sekolah-sekolah agar siswanya punya pengalaman praktis dan teknologi terapan. Siswa menjadi lebih memahami teori pelajaran di kelas. Logika berpikir siswa akan berkembang karena ia harus mencari masalah dan pemecahannya.
Dibanding tahun lalu, tingkat kesulitan lomba sedikit lebih tinggi. Tujuannya agar para pemenang terlatih dan bisa berlaga di kompetisi internasional, seperti Robocup International dan International Robot Olympiad.
Direktur Rumah Robot Indonesia Jully Tjindrawan bermimpi semua sekolah di Indonesia kelak punya mata pelajaran dan laboratorium robot. Saat ini pelajar hingga sarjana Indonesia telah diakui mampu bersaing di lomba dan pekerja teknologi oleh Amerika Serikat dan Singapura. "Olimpiade matematika sampai sekarang sudah dapat 64 medali emas," katanya.
Robot Penangkap Gas Racun
Green Bird, robot kecil mirip logo sistem operasi Android, adalah robot pendeteksi gas berbahaya. Robot dengan paruh kuning ini akan berbunyi bila ada kebocoran gas di dapur atau gas beracun lainnya.
Robot buatan tiga pelajar asal Bandung, Michelle Emmanuella, Jocelyn Olivia, dan Fairuuz Xaveria, ini diharapkan dapat menyelamatkan jiwa manusia dari ancaman gas beracun.
Kehadiran Green Bird mampu menyedot perhatian pengunjung kontes Robot Maranatha. "Pembuatannya sekitar empat minggu, mulai Juni lalu," kata Christianto Tjahyadi, pembimbing tim, pada akhir pekan lalu.
Dibuat di pusat belajar robotik Next System, Bandung, robot ini terbuat dari stoples plastik dengan penutup seukuran tempat tisu. Bagian bawahnya dilubangi agar sepasang roda karet bekas mobil mainan leluasa bergerak. Bagian kepalanya terbuat dari mangkuk plastik yang dipasang terbalik.
Sensor gas sedikit menyembul tepat di tengah kepala dan dikelilingi empat lampu LED berwarna hijau sebagai indikator gas berbahaya. Gas yang bisa terdeteksi antara lain karbon dioksida, metana, dan propana--yang lazim dipakai untuk korek gas--serta elpiji. "Kalau lampu menyala semua, artinya ada bahaya gas," kata Christianto.
Tiap kali sensor mencium gas berkadar tinggi dan berbahaya, robot langsung memberi peringatan. Bunyinya seperti alarm pada jam digital. "Robot ini juga berfungsi sebagai pemantau kualitas udara," ujarnya.
Ketika diuji di tengah kemacetan panjang Jalan Pasteur, Bandung, robot langsung berbunyi. Begitu juga saat katup gas tabung elpiji atau katup korek gas dibuka. "Pada proses pembusukan sampah juga berbunyi karena ada gas metana yang keluar," katanya.
Dua prosesor yang terpasang di badan robot membuat gerakan burung hijau itu bisa dikendalikan dengan remote control televisi yang telah dimodifikasi atau diprogram untuk berjalan sendiri.
Kendali robot dibantu dengan sensor garis dan sensor inframerah di bagian belakang robot. Pasokan energi dari baterai 8 sel sebesar 12 volt membuat Green Bird bisa bekerja selama 4 jam.
Biaya pembuatan prototipe robot ini sekitar Rp 500 ribu, sebagian besar untuk membeli sensor. Saat ini robot itu tengah dikembangkan untuk bisa menghimpun data lengkap jenis dan kadar gas berbahaya.
Data itu kemudian dikirim ke komputer, lalu diolah hingga bisa tampil menjadi grafik di layar monitor. "Itu adalah tugas akhir siswa kami di kampusnya," kata Christianto. (Koran Tempo, 21 September 2011/ humasristek)
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.